Entri Populer

Rabu, 09 November 2011

Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru

DENGAN Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante yang bertugas merancang UUD baru bagi Indonesia, serta memulai periode yang dalam sejarah politik kita disebut sebagai “Demokrasi Terpimpin”. Peristiwa ini sangat penting, bukan saja karena menandai berakhirnya eksperimen bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi yang liberal, tetapi juga tindakan Soekarno tersebut memberikan landasan awal bagi sistem politik yang justru kemudian dibangun dan dikembangkan pada masa Orde Baru. Tapi bukankah Soekarno amat berbeda dari Soeharto, pendiri Orde Baru yang menggantikannya lewat serangkaian manuver politik sejak tahun 1965 yang hingga kini masih banyak diselimuti misteri?Tentu banyak perbedaan antara Soekarno dan Soeharto yang amat gamblang. Presiden pertama RI dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
Presiden kedua RI sama sekali bukan orator, jauh lebih tertutup, serta dikenal sebagai orang yang-meskipun pemerintahannya penuh dengan kasus kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN)-memimpin proses bergabung kembalinya Indonesia dengan sistem kapitalisme internasional, setelah sempat hendak diputus oleh pendahulunya. Ia juga terkesan curiga dengan kekuatan rakyat: kebijaksanaan “massa mengambang” Orde Baru didasari premis bahwa rakyat harus dipisahkan dari politik.
Namun, di balik kesan kuat adanya keterputusan antara “Orde Lama” dan “Orde Baru”, terdapat pula beberapa kontinuitas yang cukup penting. Pertama, dua-duanya sangat anti terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan disintegrasi teritorial Indonesia, dua-duanya dapat dikatakan sangat “nasionalis” dalam hal itu. Dengan demikian, baik Soekarno maupun Soeharto amat mementingkan retorika “persatuan” dan “kesatuan”. Bahkan, sejak 1956, Soekarno sudah menuduh partai politik di Indonesia pada waktu itu sebagai biang keladi terpecah-belahnya bangsa, dan sempat mengajak rakyat untuk “mengubur” partai-partai tersebut dalam sebuah pidato yang amat terkenal.
Dengan mengubur partai politik, Soekarno menganggap bahwa bangsa Indonesia dapat kembali kepada “rel” revolusi yang sejati dengan semangat persatuan. Soeharto bahkan dikenal lebih antipartai politik, dengan merekayasa sebuah sistem yang pada dasarnya didominasi oleh satu “partai negara”, yakni Golkar, dan dua partai “pajangan”. Sebenarnya, didirikannya satu “partai negara” atau “pelopor” adalah ide yang juga lama digandrungi oleh Soekarno, walau keinginannya tidak pernah menjadi kenyataan di masa kekuasaannya.
SEPERTI Soekarno, Soeharto juga beranggapan bahwa sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, keduanya mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antar-partai.
Pada akhirnya, tidaklah terlalu sulit untuk menemukan banyak kontinuitas antara “Demokrasi Terpimpin”-nya Soekarno dan “Demokrasi Pancasila”-nya Soeharto, dengan perbedaan bahwa Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, sedangkan Soeharto justru sebaliknya. Perbedaan kedua adalah simpati Soekarno pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensi, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah. Soeharto sendiri menjalankan pembangunan bercorak kapitalis, termasuk dengan merangkul kekuatan-kekuatan kapitalisme terdepan di dunia, dan justru telah menutup arena politik untuk kekuatan komunisme. Tapi dua-duanya, dengan caranya masing-masing, mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Dua-duanya mementingkan “persatuan”-yang satu demi “revolusi” dan yang lainnya demi “pembangunan”.
Boleh dikatakan bahwa Orde Lama serta Demokrasi Terpimpin telah pave the way, membuka jalan, bagi Orde Baru dan “Demokrasi Pancasila” versi Soeharto. Tidak mengherankan bahwa Soekarno telah mengawali Demokrasi Terpimpinnya dengan kembali pada Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan Soeharto, di masa kekuasaannya, selalu bersikeras tentang sifat “sakral” konstitusi, yang tidak boleh diamandemen.
Sikap menomorsatukan UUD 1945 bukanlah hanya mencerminkan masalah ideologis atau filosofis yang abstrak, tetapi masalah kekuasaan yang konkret. Baik Soekarno maupun Soeharto amat mengerti bahwa UUD ’45 memusatkan kekuasaan pada lembaga kepresidenan, suatu hal yang hari ini justru menjadi masalah dengan adanya tarik-menarik antara Presiden dan DPR. Hal yang menarik adalah justru pada tahun 1945 Soekarno pernah berucap bahwa konstitusi itu hanya bersifat sementara. Sebab, UUD ’45 diciptakan dalam keadaan darurat, jadi sama sekali bukan sesuatu yang “suci”, sebagaimana diklaim oleh Soeharto, dan beberapa aktor politik lebih kontemporer.
Dalam pengamatan yang lebih seksama, ternyata ada banyak sekali “utang” Orde Baru pada Orde Lama. Untuk menjelaskan hal ini, mungkin ada baiknya kita kembali dulu kepada latar belakang pembubaran Konstituante oleh Soekarno serta kembalinya Indonesia kepada UUD 1945.
Dalam versi sejarah yang dibaca di sekolah, tahun 1950-an di Indonesia ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer yang berlaku pada waktu itu. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Toh Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI-kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai ini adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah yang kita baca di sekolah akan menekankan pula bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.
Bahwa kabinet sering jatuh bangun pada waktu itu adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Bahwa beberapa gerakan separatis muncul sepanjang tahun 1950-an juga adalah kenyataan, bahkan Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah. Lebih jauh lagi, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.
Seperti diketahui, salah satu aspek yang penting dari Demokrasi Terpimpin adalah berpusatnya kekuasaan di tangan eksekutif (presiden) dan berkurangnya kekuasaan lembaga legislatif, atau DPR. Hal ini telah difasilitasi dengan kembalinya Indonesia kepada UUD ’45. Bahkan, bentuk parlemen pun diubah dengan dicanangkannya suatu lembaga yang pada dasarnya memberikan tempat yang lebih besar untuk golongan-golongan “fungsional” dalam masyarakat, yang kemudian dikenal sebagai golongan “karya”. Pada saat yang sama, tempat partai di dalam parlemen juga dibatasi-sebab menurut Soekarno-politisi partai hanya mewakili kepentingan partainya, dan yang diperlukan adalah individu-individu yang dapat mewakili kepentingan “rakyat” atau yang depat menyuarakan “kepentingan nasional” yang sebenarnya.
Di masa Orde Baru, dengan sistem kekuasaan yang jauh lebih terpusat dibandingkan pada masa Soekarno, hal ini kemudian menjadi masalah yang amat besar. Negara-dalam hal ini hampir tidak bisa dibedakan dari Soeharto, keluarga, sekutu serta kroninya- mengambil-alih seluruh hak untuk mendefinisikan “kepentingan nasional” tersebut. Akibatnya, kepentingan nasional menjadi identik dengan kepentingan segelintir penguasa politik dan ekonomi, dan segala unsur dalam masyarakat yang menentangnya dinyatakan sebagai pengkhianat. Bahkan “oposisi” menjadi kata yang kotor. Mungkin terjadinya hal seperti itu akan sukar dibayangkan oleh Soekarno sendiri, meskipun ia senang memandang dirinya sebagai “penyambung lidah rakyat” berada “di atas” konflik-konflik kepentingan yang sempit.
ADALAH penting juga untuk dicatat bahwa salah satu kekuatan pendukung utama upaya Soekarno untuk memberlakukan Demokrasi Terpimpin adalah Angkatan Darat. Mengapa Angkatan Darat mendukung upaya Soekarno? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Ada persamaan nasib antara Soekarno dan tentara di dalam sistem demokrasi liberal yang mementingkan peranan partai dan parlemen, yakni keduanya tidak mempunyai akses yang langsung terhadap jalannya roda pemerintahan.
Dengan kata lain, di luar jatuh bangunnya kabinet dalam sistem liberal tahun 1950-an serta pemberontakan-pemberontakan di daerah, baik Soekarno dan Angkatan Darat mempunyai kepentingan nyata untuk membangun suatu sistem politik baru yang memberikan mereka kekuasaan yang lebih langsung. Bisa dikatakan Soekarno tidak puas sebagai presiden yang hanya bersifat figure-head, sedangkan Angkatan Darat telah berkembang menjadi kekuatan yang juga tidak puas dalam peranan hanya sebagai penjaga pertahanan dan keamanan belaka. Pembahasan terhadap kepentingan-kepentingan konkret seperti ini tidak lazim ditemukan dalam pelajaran sejarah di sekolah pada tahun 1950-an.
Perlu diingat pula bahwa, untuk sebagian, penaklukan terhadap pemberontakan daerah telah menghasilkan suatu pimpinan Angkatan Darat yang jauh lebih bersatu dibandingkan sebelumnya. Jenderal Abdul Haris Nasution telah tampil sebagai pimpinan yang mampu untuk meredam tantangan yang diajukan oleh komandan-komandan lokal yang memberontak karena tidak senang dengan dominasi Jakarta/Jawa. Di samping itu, kondisi darurat yang dicanangkan untuk menghadapi pemberontakan daerah telah menempatkan banyak perwira militer sebagai administrator roda pemerintahan. Lebih jauh lagi, nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di tahun 1957-yang sebenarnya dipelopori oleh serikat buruh-telah menempatkan banyak perwira militer di pucuk pimpinan perusahaan-perusahaan negara yang terbesar. Di antaranya adalah Ibnu Sutowo yang kemudian mengembangkan Pertamina.
Dengan posisi politik dan ekonomi yang kuat seperti ini, tampaknya militer tergiur untuk mempunyai peranan yang langsung di dalam sistem politik. “Demokrasi Terpimpin”-nya Soekarno memberikan peluang. Di antara golongan “fungsional” atau “karya” yang boleh duduk dalam parlemen adalah tentara.
Dalam konteks ini, kita perlu mengingat pula bahwa Jenderal Nasution telah mengajukan apa yang disebut sebagai “jalan tengah” untuk militer Indonesia. Dalam konsepsi ini, militer Indonesia tidak akan bersifat intervensionis-dan terlibat dalam kudeta demi kudeta-sebagaimana di Amerika Latin, namun juga tidak akan tinggal diam sebagai penonton arena politik, sebagaimana di negeri-negeri Barat. Walaupun sering dikatakan bahwa maksud awal Nasution telah dipelesetkan oleh Soeharto, dalam ide ini kita melihat cikal-bakal dari “dwifungsi” ABRI yang dipraktikkan Orde Baru.
Jadi, bila Soekarno telah memberikan dasar dari konsepsi sistem politik yang akan dikembangkan dalam versi yang lebih birokratis, otoriter dan ekslusioner pada masa Orde Baru, Nasution telah memberikan landasan awal bagi peranan militer di dalamnya. Nasution pulalah yang pertama mengusulkan bahwa hak pilih tentara dan polisi dicabut dan diganti oleh hak otomatis memperoleh perwakilan di badan legislatif. Oleh karena itu, Orde Baru dapat dipandang sampai tingkat tertentu sebagai hasil yang tidak disengaja (unintended consequence) dari manuver-manuver politik Soekarno dan Nasution di tahun 1950-an. Bisa dikatakan bahwa Soeharto tidak mungkin “ada” secara politik tanpa manuver kedua pendahulunya itu, masing-masing sebagai pimpinan negara dan tentara.
Tentunya, Soekarno dan Nasution pada waktu itu berada dalam situasi yang ditandai oleh keharusan untuk bernegosiasi dan bekerja sama, tetapi juga tidak jarang oleh konflik. Khususnya, militer amat tidak senang dengan upaya Soekarno untuk mengikutsertakan PKI dalam pemerintahan, sedangkan Soekarno semakin mengandalkan PKI sebagai satu-satunya kekuatan politik di awal tahun 1960-an yang dapat mengimbangi Angkatan Darat.
Dalam pikiran Soekarno, PKI adalah bagian tak terpisahkan dari “front” nasional menentang imperialisme dan untuk memajukan revolusi nasional. Ternyata-walaupun cukup “sukses” dalam pemilu nasional dan lokal sebelumnya-PKI mampu beradaptasi dengan lingkungan politik baru setelah berakhirnya masa demokrasi parlementer, seperti juga PNI dan NU (dua elemen lain dari Nasakom-nya Soekarno).
Konflik militer-PKI sendiri setidaknya sudah berawal pada peristiwa Madiun, dan diperburuk sejak tentara semakin aktif mengembangkan ormas untuk melawan dominasi PKI terutama di bidang organisasi buruh dan tani. Apalagi tentara sejak 1957 berhadapan langung dengan SOBSI-serikat buruh yang dekat dengan PKI-di perusahaan nasional yang dikelola militer. Sebagaimana diketahui, konflik militer dan PKI itu akhirnya berkulminasi dengan peristiwa 1965 yang hingga kini masih misterius, dan naiknya Jenderal Soeharto ke pucuk pimpinan negara.
Adalah dalam konteks konflik militer dengan PKI ini jugalah lahir “bayi” yang kemudian menjadi entitas politik bernama Golkar. Setelah Soekarno memperjuangkan konsep perwakilan politik berdasarkan “fungsi” dalam masyarakat, ideolog militer macam Jenderal Soehardiman juga mengembangkan konsep “karyawan” di bidang perburuhan dengan mendirikan SOKSI (terutama berbasis pada perusahaan negara yang dikuasai militer). Akhirnya, Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar) didirikan oleh tentara untuk menghimpun kekuatan-kekuatan keormasan dan politik yang berseberangan dengan kekuatan komunis.
Pada dasarnya, militerlah yang kemudian menjadi ahli waris langsung dari konsep golongan karya yang awalnya diperjuangkan oleh Soekarno, walau dalam versi tentara, konsep ini bermutasi menjadi lebih anti-partai, dan bercorak anti-komunis. Dalam perjalanan sejarah, Golkar dikembangkan di masa Soeharto sebagai salah satu pilar utama Orde Baru, yakni sebagai wadah untuk melegitimasikan kekuasaan lewat sejumlah pemilu yang jauh dari prinsip bebas dan bersih.
ADALAH menarik bahwa pada masa awal Orde Baru, terjadi pula perdebatan di antara para pendukungnya sendiri (ketika itu, termasuk para intelektual dan mahasiswa) tentang peranan partai politik yang wajar di Indonesia. Intelektual macam Mochtar Lubis pun menulis di koran Indonesia Raya tentang perlunya lapangan politik dibersihkan dari partai politik yang identik dengan Orde Lama, yang katanya menghambat pembangunan. Tentu dia tidak sendiri, karena pandangan ini dikumandangkan juga oleh banyak intelektual lain-termasuk yang kemudian menjadi lawan Soeharto yang gigih dan tokoh gerakan demokrasi-serta sejumlah jenderal.
Perdebatan di antara para pendiri atau pendukung Orde Baru berkisar sejauh dan secepat manakah partai politik perlu di-’kubur’. Dalam hal-hal macam ini pulalah kita bisa melihat satu lagi “utang” Orde Baru-nya Soeharto pada “Orde Lama”-nya Soekarno. Seperti diketahui, setelah proses perdebatan dan intrik yang panjang, akhirnya semua partai “sisa” Orde Lama memang difusikan menjadi Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia di tahun 1973, disertai oleh Golkar, partainya golongan karya.
Salah satu tokoh yang paling penting dalam proses perekayasaan sistem politik Orde Baru adalah Jenderal Ali Moertopo. Peranannya menonjol baik sebagai ideolog maupun sebagai operator politik utama Soeharto di awal Orde Baru (dengan Aspri dan Opsus-nya). Jenderal Moertopo menerbitkan beberapa karya yang amat gamblang menggambarkan dasar-dasar pemikiran, blueprint, politik Orde Baru. Moertopo bukan seorang Soekarnois, tapi saya kira ada beberapa aspek dari pemikirannya-yang meskipun mungkin “dipinjam” dari tempat lain- “bertemu” secara tidak langsung dengan ide-ide yang sempat diperjuangkan oleh Soekarno di tahun 1950-an. Salah satu “pertemuan” itu adalah dalam penempatan “negara” sebagai suatu entitas yang diidealisasikan berada di atas konflik dan perbedaan dalam masyarakat. Dalam pidato kenegaraan di tahun 1956, Soekarno menyatakan bahwa negara atau bangsa adalah suatu organisme yang tidak bisa dipilah-pilah, sedangkan strategi politik Moertopo dicurahkan terutama untuk menjamin bahwa tidak ada kekuatan dalam masyarakat yang mampu untuk menentang kemauan negara sebagai pengejewantahan dari kepentingan bersama.
Menurut David Bourchier (seorang pengamat politik Indonesia berasal dari Australia), pemikiran Moertopo banyak dipengaruhi oleh pemikiran Gereja Katolik Eropa awal abad ke-20, yang juga mengajukan konsep adanya pertalian yang erat, hubungan organik, antara negara dan masyarakat. Pemikiran ini aslinya dikembangkan di Eropa sebagai respons terhadap bahaya “fragmentasi” masyarakat yang disebabkan oleh kemunculan politik perjuangan kelas yang dimotori oleh kaum sosialis. Menurut Bourchier, Moertopo mungkin memperoleh gagasan ini dari intelektual Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang sempat menjadi dapur pemikirannya. Seperti dikemukakan sebelumnya, Soekarno pun mengkhawatirkan proses fragmentasi di Indonesia, walaupun lebih menurut aliran politik atau sentimen kedaerahan. Di masa Orde Baru, ketakutan akan fragmentasi-atas dasar kelas, agama, atau hal lain-digabungkan dengan praktik-praktik politik represif yang membungkam bukan hanya partai, tetapi semua suara oposisi dengan dalih ancaman terhadap persatuan nasional dan sebagainya. Bahkan, protes daerah-daerah tertentu mengenai berbagai kebijakan pemerintah pusat dijawab dengan pengiriman tentara demi menjamin lestarinya persatuan nasional.
Sekali lagi, tentu ada perbedaan-perbedaan yang penting antara “visi” Orde Baru dan visi “Demokrasi Terpimpinnya Soekarno”. Setidak-tidaknya retorika Orde Baru di masa awal dibumbui dengan jargon-jargon teori modernisasi yang dipinjam dari kepustakaan ilmu sosial Barat, seperti karya Samuel Huntington yang tersohor, Political Order in Changing Societies. Ironisnya, hal ini terjadi meskipun sistem politik yang hendak dibangun di Indonesia adalah yang diklaim bercorak kepribadian nasional yang khas. Sebaliknya, retorika Soekarno seperti biasa dibumbui oleh jargon-jargon revolusioner yang cenderung romantis dan yang menekankan bersatunya pemimpin dengan rakyat
TULISAN ini telah memusatkan perhatian pada beberapa kontinuitas-mungkin terasa agak ironis-antara Orla dan Orba, meskipun ada banyak perbedaan di tingkat permukaan. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan betapa relevannya pemikiran dan tindakan Soekarno pada masa yang jauh melampaui kurun waktu kehidupannya sendiri-walaupun dalam bentuk unintended consequence-yakni berdiri, berkembang, dan bercokolnya Orde Baru.Pada dasarnya, kontinuitas adalah tema yang masih amat relevan dibicarakan di Indonesia, bahkan dewasa ini karena masih eratnya kaitan antara aktor-aktor politik di masa reformasi ini dengan berbagai kepentingan yang menonjol di masa Orde Baru. Bedanya, kepentingan-kepentingan ini bukan lagi dilindungi oleh negara yang otoriter tetapi justru oleh partai-partai yang tumbuh relatif bebas dalam alam demokratisasi.
Seperti di tahun 1950-an dan 1960-an, perilaku partai politik yang dianggap mementingkan diri sendiri juga telah menyebabkan banyak orang menjadi sinis terhadapnya. Apakah sejarah akan berulang dan partai politik kembali dicap sebagai biang keladi fragmentasi bangsa, sebagaimana pernah dituduhkan Soekarno?
Mudah-mudahan saja solusi politik yang akhirnya ditemukan oleh bangsa Indonesia akan sangat berbeda dari solusi yang pernah muncul sebelumnya. Mudah-mudahan sejarah tidak berulang dengan naiknya tentara sebagai panglima politik, dan bercokolnya rezim yang otoriter untuk waktu yang lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar