Entri Populer

Senin, 21 November 2011

benarkah wali songo berasal dari cina?

Benarkah sejarah yang kita ketahui memang terjadi seperti yang kita ketahui?
Apakah benar dulu pernah ada kerajaan majapahit? Sriwijaya? Pajajaran? Demak? Dan yang lainnya?
Darimanakah kita tahu bahwa nama2 tersebut benar2 pernah ada didunia ini.
Seperi kita tahu bahwa masa lalu dibagi menjadi 2 bagian yaitu jaman prasejarah dan jaman sejarah. Kapan jaman sejarah dimulai? Ketika manusia sudah dapat meninggalka sesuatu yang bernama tulisan. Dari mana kalau kita tahu dahulu ada manusia purba didaerah dago pakar bandung? Tentu dari peninggalan2 berupa perkakas yang mereka tinggalkan dan kita temukan. Dari mana kita tahu ada pangeran diponegoro, wali songo, majapahit dll? Tentu dari peninggalan2 nya berupa prasasti maupun buku2. Namun, bisakah kita mempercayai kata2 orang tua? Menurut saya tidak. Mungkin dalam beberapa cerita yang diturunkan secara mulut ke mulut lewat cerita tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena memang tidak berdasar. Perlu kajian ulang dari cerita2 tersebut dengan bukti2 di lapangan.
Mungkin orang indonesia sudah sering mengenal yang namanya wali sango, mereka adalah 9 wali yang menyebarkan islam di pulau jawa. Banyak cerita yang beredar di masyarakat tentang 9 wali ini, kebanyakan mungkin dari mulut ke mulut atau dari buku2 yang sumber pustakanya tidak jelas. Bisakah kita mempercayainya? Terserah masing2 agan, namun ane ingin sedikit sharing tentang buku yang ane baca dengan judul “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara Negara Islam di Nusantara” karangan professor Doktor Slamet Muljana.

Dan yang ingin kita share adalah menurut dia usul wali sango yang ternyata bukan berasal dari timur tengah ataupun asli orang jawa melainkan wali sango kebanyakan adalah orang Cina atau keturunan Cina.
Pada buku ini :
1. Sumber yang diambil untuk buku ini adalah kitab pararaton dan Negarakertagama yang sudah diakui keasliannya + sumber yang selama ini terkunci di arsip negara Rijswijk Den Haag Belanda yaitu sumber dari klenteng Sam Po Kong dan Klenteng Talang.
2. Pengarangnya membandingkan sumber2 diatas yang sudah terpercaya keasliannya dengan sumber yang masih dipertanyakan keasliannya yaitu babad tanah jawi dan serat kanda

Sebenarnya ni buku udah keluar waktu jaman presiden Sukarno, namun waktu itu ditarik dari peredarannya dikarenakan buku ini mengangkat persoalan kalau wali sango berasal dari cina. Sedangkan sewaktu buku ini keluar sedang ada gerakan2 sikap sentimental terhadap cina gara2 cina diduga dalang gerakan 30 september 1965. Waktu itu Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan cina.
Namun tetap buku ini mengundang kontroversi karena orang yang diceritakan menggeledah klenteng Sam Po Kong dan klenteng Talang yaitu residen Poortman. Belum diketahui jejak sejarahnya sekalipun itu di negeri belanda sana.
  di sini akan di bahas sedikit ttng wali songo dan orang2 penting di masanya yang berasal/keturunan cina:
Quote:
Raden Patah

Raden Patah adalah penderi kerajaan demak, Raden Patah mempunyai gelar panembahan Jimbun yang berarti dalam dialek cina “orang kuat” . Menurut Babad Tanah jawi dan Serat Kanda Raden patah merupakan anak dari putri cina dan prabu Brawijaya(raja majapahit). Beliau dibesarkan di Palembang, kemudian Raden Patah datang ke pulau jawa bersama Kin San, mereka berdua menemui sunan ampel kemudian Raden Patah ditempatkan di daerah demak untuk menjadi ulama. Kemudian raden patah perlahan lahan menghimpun kekuatan untuk membentuk kerajaan islam pertama di jawa dengan pusat di demak. Raden patah kemudian merebut pelabuhan penting semarang dan meruntuhkan majapahit. Kedua sumber tadi sudah dicocokan dengan berita dari klenteng Sam Po Kong dan klenteng Talang.
Disimpulkan dari sumber2 di atas maka Raden Patah = Jin Bun = Sultan Demak
Quote:
Raden Kusen/Adipati terung
Raden Kusen adalah anak dari putri cina(istri dari prabu Brawijaya. Prabu Brawijaya menghadiakan putrid cina pada Arya Damar karena kecemburuan istri pertama Brawijaya yang berasal dari campa) dengan Arya Damar. Raden Kusen datang ke jawa bersama raden patah untuk pergi ke majapahit. Ketika kerajaan demak berdiri. Raden Kusen diangkat menjadi bupati semarang oleh Raden Patah.
Disimpulkan dari sumber2 di atas maka Raden Kusen = Adipati Terung = Kin San
Quote:
Raden Rahmat/Sunan Ngampel

Menurut Babad Tanah Jawa raden rahmat berasal dari campa, merupakan anak dari Makdum Ibrahim. Dan dikutip dari Serat Kanda dan Babad Tanah Jawa, ditegaskan dalam percakapan antara Sunan Ampel dengan Raden Patah dan Raden Kusen bahwa Sunan Ampel merupakan orang asing sedangkan Raden Patah dan Raden Kusen keturunan jawa.
Menurut sumber di klenteng Sam Po Kong, pada tahun 1419 laksamana Sam Po Bo memerintahkan Bong Tak Keng untuk memimpin masyarakat cina muslim di campa. Bong Tak Keng mempunyai cucu bernama Bong Swi Hoo. Kemudian menurut sumber ini Bong Swi Hoo diutus ke pulau jawa untuk memimpin masyarakat cina muslim di sana. Diceritakan Bong Swi Hoo bertemu dengan Raden Patah dan Raden Kusen di bangil kemudian menjadi guru mereka.
Disimpulkan dari sumber2 di atas maka Raden Rahmat = Sunan Ampel = Bong Swi Hoo
Quote:
Sunan kalijaga

Sunan Kalijaga diceritakan dalam Babad Tanah Jawa memiliki banyak mukzijat, salah satunya mendirikan tiang tal di mesjid demak. Dari sumber yang sama Sunan Ampel merupakan ipar dari Sunan Kalijaga. Menurut sumber yang sama Sunan Ampel menikah dengan kapten cina di tuban Gan Eng Cu atau Arya Teja. Ternyata Arya Teja mempunyai anak laki-laki bernama Gan Si Cang, dari sumber klenteng Sam Po Kong, Raden patah pernah meminta Gan Si Cang untuk membuat saka tal mesjid demak kemudian mengangkatnya menjadi kapten cina di semarang.
Disimpulkan dari sumber2 di atas maka Raden Said = Sunan Kalijaga = Gan Si Cang
Quote:
Sunan gunung jati

Dalam Babad Tanah Jawa hanya ada penguraian sultan Cirebon menikah dengan putri Sultan Trenggana. Dalam serat kanda, sunan Cirebon dikisahkan ikut membangun mesjid demak. Dalam sumber berita dari portugis Les Voyages Advantureux Sunan Gunung Jati merupakan panglima perang demak, raja sunda bernama Tagaril. Menurut sumber dari klenteng Sam Po Kong pada tahun 1526 panglima perang demak Tan Eng Hoat pergi ke sembung dari talang dan diberi julukan “ Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi” oleh raja demak. Dari sumber klenteng talang 25 tahun kemudian Tan Eng Hoat datang kembali ke sembung, karena kecewa dengan perebutan kekuasaan di demak maka dia mendirikan kesultanan Cirebon.
Disimpulkan dari sumber2 di atas maka Syarif Hidayat Fatahillah = Sunan Gunung Jati = Tan Eng Hoat
Quote:
Sunan Bonang dan sunan giri

Menurut Babad Tanah Jawa dan serat kanda Sunan Bonang anak dari Sunan Ampel dan Sunan Giri adalah anak dari Wali Lanang/Sayid Ishak. Sayid Ishak adalah paman dari sunan ampel. Menurut klentengSam Po Kong diceritakan tahun 1947, 2 orang yang tidak pandai bahasa cina datang ke semarang anak dan murid dari Bong Swi Hoo.
Disimpulkan dari sumber2 di atas maka sunan Bonang dan sunan Giri adalah keturunan Cina

Senin, 14 November 2011


Sejarah Penemuan Fosil Manusia Purba





Sejarah Penemuan Fosil Manusia Purba, Manusia Kera dan Manusia Modern - Teori Perkembangan Evolusi Antar Waktu Arkeologi Biologi



Secara umum penemuan fosil manusia dari jaman ke zaman terbagi atas tiga kelompok, yaitu manusia kera, manusia purba dan manusia modern.

Yang perlu diingat adalah bahwa teori ini hanya dugaan dan tidak terbukti kebenarannya karena teori evolusi telah runtuh. Fosil manusia lama yang ditemukan bisa saja bukan fosil manusia atau manusia yang memiliki bentuk ciri tubuh yang unik, atau bahkan hasil rekayasa.

A. Manusia Kera dari Afrika Selatan

1. Australopithecus Africanus

Australopithecus africanus ditemukan di desa Taung di sekitar Bechunaland ditemukan oleh Raymond Dart tahun 1924. Bagian tubuh yang ditemukan hanya fosil tengkorak kepala saja.

2. Paranthropus Robustus dan Paranthropus Transvaalensis

Dua penemuan tersebut ditemukan di daerah Amerika Selatan dengan ciri isi volume otak sekitar 600 cm kubik, hidup di lingkungan terbuka, serta memiliki tinggi badan kurang lebih 1,5 meter. Kedua fosil menusia kera tersebut disebut australopithecus.

B. Manusia Purba / Homo Erectus


1. Sinanthropus Pekinensis
Sinanthropus pekinensis adalah manusia purba yang fosilnya ditemukan di gua naga daerah Peking negara Cina oleh Davidson Black dan Franz Weidenreich. Sinanthropus pekinensis dianggap bagian dari kelompok pithecanthropus karena memiliki ciri tubuh atau badan yang mirip serta hidup di era zaman yang bersamaan. Sinanthropus pekinensis memiliki volume isi otak sekitar kurang lebih 900 sampai 1200 cm kubik.

2. Meganthropus Palaeojavanicus / Manusia Raksasa Jawa

Meganthropus palaeojavanicus ditemukan di Sangiran di pulau jawa oleh Von Koningswald pada tahun 1939 - 1941.

3. Manusia Heidelberg

Manusia Heidelberg ditemukan di Jerman

4. Pithecanthropus Erectus

Pithecanthropus erectus adalah manusia purba yang pertama kali fosil telang Belulang ditemukan di Trinil Jawa Tengah pada tahun 1891 oleh Eugene Dubois. Pithecanthropus erectus hidup di jaman pleistosin atau kira-kira 300.000 hingga 500.000 tahun yang lalu. Volume otak Pithecanthropus erectus diperkirakan sekitar 770 - 1000 cm kubik. Bagian tulang-belulang fosil manusia purba yang ditemukan tersebut adalah tulang rahang, beberapa gigi, serta sebagian tulang tengkorak.

C. Manusia Modern
Pengertian atau arti definisi manusia modern adalah manusia yang termasuk ke dalam spesies homo sapiens dengan isi volum otak kira-kira 1450 cm kubik hidup sekitar 15.000 hingga 150.000 tahun yang lalu. Manusia modern disebut modern karena hampir mirip atau menyerupai manusia yang ada pada saat ini atau sekarang.

1. Manusia Swanscombe - Berasal dari Inggris

2. Manusia Neandertal - Ditemukan di lembah Neander

3. Manusia Cro-Magnon / Cromagnon / Crogmanon - Ditemukan di gua Cro-Magnon, Lascaux Prancis. Dicurigai sebagai campuran antara manusia Neandertal dengan manusia Gunung Carmel.

4. Manusia Shanidar - Fosil dijumpai di Negara Irak

5. Manusia Gunung Carmel - Ditemukan di gua-gua Tabun serta Skhul Palestina

6. Manusia Steinheim - Berasal dari Jerman

TAHAPAN-TAHAPAN DALAM PENELITIAN SEJARAH

A.TAHAPAN PENELITIAN SEJARAH
Pertama yang harus dilakukan adalah menentukan topik penelitian dengan tujuan agar dalam melakaukan pencarian sumber-sumber sejarah dpat terarah dan tepat sasaran.Pemilihan topik penelitian dapatdidasarakan pada unsur-unsur berikut ini:
1.Bernilai
Peristiwa sejarah yang diungkap tersebut harus bersifat unik, kekal, abadi.
2.Keaslian (Orisinalitas)
Peristiwa sejarah yang diungkap hendaknya berupa upaya pembuktian baru atau ada pandangan baru akibat munculnya teori dan metode baru
3.Praktis dan Efesien
Peristiwa sejarah yang diungkap terjangkau dalam mencari sumbernya dan mempunyai hubungan yang erat dengan peristiwa itu.
4.Kesatuan
Unsur-unsur yang dijadikan bahan penelitian itu mempunyai satu kesatuan ide.
B.LANGKAH-LANGKAH DALAM PENELITIAN SEJARAH
Setelah menentukan topik penelitian selanjutnya meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1.HEURISTIK (Pengumpulan Data)
Heuristik merupakan langkah awal dalam penelitian sejarah untuk berburu dan mengumpulkan berbagi sumber data yang terkait dengan masalah yang sedeang diteliti.misalnya dengan melacak sumber sejarah tersebut dengan meneliti berbagai dokumen, mengunjungi situs sejarah, mewawancarai para saksi sejarah.
2.KRITIK (VERIFIKASI)
Kritik merupakan kemampuan menilai sumber-sumber sejarah yang telah dicari (ditemukan). Kritik sumber sejarah meliputi kritik ekstern dan kritik intern.
a.Kritik Ekstern
kritik ekstern di dalam penelitian ilmu sejarah umumnya menyangkut keaslan atau keautentikan bahan yang digunakan dalam pembuatan sumber sejarah, seperti prasasti, dokumen, dan naskah.Bentuk penelitian yang dapat dilakukan sejarawan, misalnyatentang waktu pembuatan dokumen itu (hari dan tanggal) atau penelitian tentang bahan (materi) pembuatan dokumen itu sndiri.Sejarawan dapat juga melakukan kritik ekstern dengan menyelidiki tinta untuk penulisan dokumen guna menemukan usia dokumen. Sejarawan dapat pula melakukan kritik ekstern dengan mengidentifikasikan tulisan tangan, tanda tangan, materai, atau jenis hurufnya.
b.Kritik Intern
Kritik Intern merupakan penilaian keakuratan atau keautentikan terhadap materi sumber sejarah itu sendiri. Di dalam proses analisis terhadap suatu dokumen, sejarawan harus selalu memikirkan unsur-unsur yang relevan di dalam dokumen itu sendiri secara menyeluruh. Unsur dalam dokumen dianggap relevan apabila unsur tersebut paling dekat dengan apa yang telah terjadi, sejauh dapat diketahui berdasarkan suatu penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber terbaik yang ada.
3.INTERPRETASI (penafsiran)
Interfretasi adalah menafsirkan fakata sejarah dan merangkai fakta tersebut hingga menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Dari berbagi fakta yang ada kemudian perlu disusun agar mempunyai bentuk dan struktur. Fakta yang ada ditafsirkan sehingga ditemukan struktur logisnya berdasarkan fakta yang ada, untuk menghindari suatu penafsiran yang semena-mena akibat pemikiran yang sempit. Bagi sejarawan akademis, interfretasi yang bersifat deskriptif sajabelum cukup. Dalam perkembangan terakhir, sejarawan masih dituntut untuk mencari landasan penafsiran yang digunkan.
4.HISTORIOGRAFY (Penulisan Sejarah)
Historiogray adalah oses penyusunan fakta-fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam sebuah bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap data-data yang ada, sejarawan harus sadar bahwa tulisan itu bukan hanya sekedar untuk kepentingan dirinya, tetapi juga untuk dibavca orang lain. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisan nya. Sejarawan harus menyadari dan berusaha agar orang lain dapat mengerti pokok-pokok pemikiran yang diajukan.
PRINSIP-PRINSIP DASAR DALAM PENELITIAN SEJARAH LISAN.
Metode sejarah lisan adalah suatu metode pengumpulan data atau bahan guna penulisan sejarah yang dilakukan sejarawan melalui wawancara terhadap para pelaku sejarah yang ingin diteliti. Di Indonesia metode wawancara dalam penulisan sejarah mulai dikembangkan dengan diawali adanya proyek sejarah lisan yang ditangani oleh Badan Arsip Nasional.
Berkembangnya metode wawancara dalam penulisan sejarah di Indonesia dilatarbelakangi oleh sulitnya menemukan jejak masa lampau berupa dokumen yang sezaman serta makin berkembangnya perhatian studi sejarah yangmengarah ke subyek masyarakat berupa orng kecil dalam peristiwa kecil yang biasanya tidak meninggalkan jejak berupa dokumen.
Wawancara adalah kegiatan melakukan tanya jawab dengan narasumber untuk mendapatkan keterangan tertentu. Wawacara merupakan teknik pengumpulan data yang amat penting dalam penelitian survey selain teknik utama berupa Observasi. Oleh karena itu, dalam penelitian survei, teknik wawancara merupakan pembantu utama dari metode Observasi.

Jumat, 11 November 2011

Asal Usul dan Sejarah Penemuan Mesin Jahit


Asal Usul Sejarah jahit-menjahit dengan menggunakan jarum sudah dimulai pada awal-awal peadaban manusia. Bahan jarumnya bermacam-macam. Ada yang terbuat dari batu, tembaga, tulang ataupun gading. Jarum yang masih kasar itu digunakan untuk menyatukan kulit hewan menjadi pakaian. Sementara benangnya yang digunakan dibuat dari otot hewan. Jarum logam digunakan sekitar abad ke-14, yang merupakan jarum dengan menggunakan lubang yang umum dijumpai pada saat ini.

-Asal Usul Sejarah Penemuan Mesin Jahit
Pada tahun 1755, seorang imigran Jerman, Charles Weisenthal, yang tiggal di Inggris, mematenkan penemuan jarumnya yang khusus dirancangnya untuk sebuah mesin.


Charles Weisenthal

Sayangnya patennya tidak merinci mesin yang menggunakan jarum tersebut.

Berikutnya, seorang pembuat lemari asal Inggris, Thomas Saint yang juga mematenkan mesin jahit di tahun 1790.

Thomas Saint

Tidak diketahui apa Saint benar-benar membuat prototipe mesin yang digunakan pada saat itu, atau hanya sekedar mematenkan agar mendapatkan royalti, kelak jika mesin itu bisa dibuat. Yang pasti, Thomas Saint merinci dalam patennya sebuah benda tajam yang dapat membuat lubang pada kulit dan memasukkan jarum pada lubang yang ada. Selangkah lebih maju dari Weisenthal. Namun reproduksi temuan Saint itu ternyata tidak bisa beroperasi.


Perkara Paten ini juga dilupakan oleh Balthasar Krems.


Balthasar Krems

Warga berkebangsaan Jerman ini menemukan mesin otomatis untuk menjahit topi di tahun 1810. Dia tidak mematenkan temuanya dan konon mesinnya tidak pernah berfungsi dengan baik.


Mesin Jahit Balthasar Krems

Upaya untuk membuat mesin jahit memang tidak pernah pudar. Banyak pula yang akhirnya menyebabkan perang paten. Namun tidak sedikit pula yang berakhir dengan kegagalan. Contohnya John Adams Doge dan John Knowles dari Amerika. Mereka berdua membuat mesin jahit pada tahun 1818 namun ujung-ujungnya mesin itu gagal saat digunakan untuk menjahit sejumlah kain.

Mesin Jahit yang bisa berfungsi diciptakan oleh Barthelemy Thimonier pada tahun 1830.


Barthelemy Thimonier

Mesin ini hanya menggunakan satu benang dan sebuah jarum kait seperti jarum bordir atau sulam.
Sayangnya, temuan ini tidak memperoleh sambutan baik dari masyarakat. Bahkan dirinya hampir terbunuh ketika sejumlah penjahit membakar pabrik garmen miliknya karena takut tersaingi dan menimbulkan pengangguran akibat temuan mesin jahitnya.

Kembali seorang Amerika mencoba membuat mesin jahit dan sukses ditahun 1834, yang bernama Walter Hunt.


Walter Hunt

Namun anehnya, dia tidak merasa bahagia dengan temuannya, karena dia merasa temuannya akan menimbulkan pengangguran.

-Mesin Jahit Elias Howe


Elias Howe

Puncak penemuan mesin jahit terjadi di Amerika Serikat yang ditemukan oleh Elias Howe.
Mesin buatannya menggunakan dua benang dari arah berlawanan dan memiliki jarum berlubang untuk benang di bagian ujung.



Jarum itu didesak menembus kain dan membuat semacam lengkungan benang di sisi bawah kain. Sebuah benang dari arah lain disisipkan ke dalam lengkungan tadi. Lalu kedua benang membuat jalinan yang mengunci kain. Kabarnya temuan ini inspirasi dari mimpinya.



Mesin Jahit Elias Howe

Dalam mimpinya, perut Howe ditusuk oleh seorang kanibal dengan tombak dalam tidurnya.
Bentuk ujung tombak inilah yang dijadikan inspirasi buat menciptakan jarum yang sudah lama dicarinya.

-Perang Pematenan Mesin Jahit



Mesin Jahit Howe

Namun setelah penemuannya, Howe dihadapkan pada masalah dengan mempertahankan paten dan memasarkan temuannya. Akhirnya dia berjuang selama sembilan tahun.


Isaac Singer

Perang paten sendiri pecah ketika Isaac Singer menemukan mekanisme naik turun pada mesin jahit dan Allen Wilson mengembangkan alat kait pemintal berputar. Mesin jahit belum menjadi barang produksi massal hingga tahun 1850-an.



Mesin Jahit Isaac Singer

Setelah Isaac Singer berhasil membuat mesin jahit dengan jarum jahit yang bisa digerakkan kayuhan pedal kaki, maka kesuksesan penjualan mesin jahit secara komersial terbuka.
Sebelumnya, mesin jahit terdahulu menggerakkan jarumnya dari pinggir dan digerakkan dengan tangan.

Bagaimanapun, mesin Isaac Singer menerapkan mekanisme jalinan dua benang yang dipatenkan Howe.
Maka Elias Howe menuntut Isaac Singer atas paten yang serupa dan berhasil memenangkan perkaranya pada tahun 1854.
Sebenarnya Walter Hunt menerapkan jalinan benang dari dua sumber benang dan jarum berlubang.
Namun pengadilan memutuskan paten jatuh ketangan Howe setelah Hunt membatalkan patennya.

Jika Hunt tetap mematenkan temuannya, Elias Howe dapat dikalahkan dalam perkaranya dengan Isaac Singer.

Maka atas kekalahan itu, Isaac Singer harus membayar royalti paten Elias Howe.
Jika saja paten yang dimiliki warga Inggris, John Fisher ditahun 1844 itu tidak hilang, maka Fischer akan terlibat dalam perang paten mesin jahit.
Pasalnya mesin renda buatannya menerapkan mekanisme yang serupa dengan mesin Howe maupun Singer.

Keberhasilan dalam mempertahankan hak atas patennya membuat keuntungan Elias Howe melonjak tajam.
Pendapatan tahunannya yang semula 300 dolar Amerika menjadi lebih dari 200.000 dolar AS per tahun untuk saat itu.

Dalam kurun waktu 14 tahun (1854-1867), Howe mengumpulkan dana hingga 2 juta dolar AS atas temuannya.

Ia lantas menyisihkan sebagian kekayaannya selama Perang Saudara Amerika bagi Pasukan Infantri dan sebagian lagi sumbangan atas nama pribadinya.

Rabu, 09 November 2011

Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru

DENGAN Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante yang bertugas merancang UUD baru bagi Indonesia, serta memulai periode yang dalam sejarah politik kita disebut sebagai “Demokrasi Terpimpin”. Peristiwa ini sangat penting, bukan saja karena menandai berakhirnya eksperimen bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi yang liberal, tetapi juga tindakan Soekarno tersebut memberikan landasan awal bagi sistem politik yang justru kemudian dibangun dan dikembangkan pada masa Orde Baru. Tapi bukankah Soekarno amat berbeda dari Soeharto, pendiri Orde Baru yang menggantikannya lewat serangkaian manuver politik sejak tahun 1965 yang hingga kini masih banyak diselimuti misteri?Tentu banyak perbedaan antara Soekarno dan Soeharto yang amat gamblang. Presiden pertama RI dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
Presiden kedua RI sama sekali bukan orator, jauh lebih tertutup, serta dikenal sebagai orang yang-meskipun pemerintahannya penuh dengan kasus kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN)-memimpin proses bergabung kembalinya Indonesia dengan sistem kapitalisme internasional, setelah sempat hendak diputus oleh pendahulunya. Ia juga terkesan curiga dengan kekuatan rakyat: kebijaksanaan “massa mengambang” Orde Baru didasari premis bahwa rakyat harus dipisahkan dari politik.
Namun, di balik kesan kuat adanya keterputusan antara “Orde Lama” dan “Orde Baru”, terdapat pula beberapa kontinuitas yang cukup penting. Pertama, dua-duanya sangat anti terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan disintegrasi teritorial Indonesia, dua-duanya dapat dikatakan sangat “nasionalis” dalam hal itu. Dengan demikian, baik Soekarno maupun Soeharto amat mementingkan retorika “persatuan” dan “kesatuan”. Bahkan, sejak 1956, Soekarno sudah menuduh partai politik di Indonesia pada waktu itu sebagai biang keladi terpecah-belahnya bangsa, dan sempat mengajak rakyat untuk “mengubur” partai-partai tersebut dalam sebuah pidato yang amat terkenal.
Dengan mengubur partai politik, Soekarno menganggap bahwa bangsa Indonesia dapat kembali kepada “rel” revolusi yang sejati dengan semangat persatuan. Soeharto bahkan dikenal lebih antipartai politik, dengan merekayasa sebuah sistem yang pada dasarnya didominasi oleh satu “partai negara”, yakni Golkar, dan dua partai “pajangan”. Sebenarnya, didirikannya satu “partai negara” atau “pelopor” adalah ide yang juga lama digandrungi oleh Soekarno, walau keinginannya tidak pernah menjadi kenyataan di masa kekuasaannya.
SEPERTI Soekarno, Soeharto juga beranggapan bahwa sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, keduanya mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antar-partai.
Pada akhirnya, tidaklah terlalu sulit untuk menemukan banyak kontinuitas antara “Demokrasi Terpimpin”-nya Soekarno dan “Demokrasi Pancasila”-nya Soeharto, dengan perbedaan bahwa Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, sedangkan Soeharto justru sebaliknya. Perbedaan kedua adalah simpati Soekarno pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensi, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah. Soeharto sendiri menjalankan pembangunan bercorak kapitalis, termasuk dengan merangkul kekuatan-kekuatan kapitalisme terdepan di dunia, dan justru telah menutup arena politik untuk kekuatan komunisme. Tapi dua-duanya, dengan caranya masing-masing, mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Dua-duanya mementingkan “persatuan”-yang satu demi “revolusi” dan yang lainnya demi “pembangunan”.
Boleh dikatakan bahwa Orde Lama serta Demokrasi Terpimpin telah pave the way, membuka jalan, bagi Orde Baru dan “Demokrasi Pancasila” versi Soeharto. Tidak mengherankan bahwa Soekarno telah mengawali Demokrasi Terpimpinnya dengan kembali pada Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan Soeharto, di masa kekuasaannya, selalu bersikeras tentang sifat “sakral” konstitusi, yang tidak boleh diamandemen.
Sikap menomorsatukan UUD 1945 bukanlah hanya mencerminkan masalah ideologis atau filosofis yang abstrak, tetapi masalah kekuasaan yang konkret. Baik Soekarno maupun Soeharto amat mengerti bahwa UUD ’45 memusatkan kekuasaan pada lembaga kepresidenan, suatu hal yang hari ini justru menjadi masalah dengan adanya tarik-menarik antara Presiden dan DPR. Hal yang menarik adalah justru pada tahun 1945 Soekarno pernah berucap bahwa konstitusi itu hanya bersifat sementara. Sebab, UUD ’45 diciptakan dalam keadaan darurat, jadi sama sekali bukan sesuatu yang “suci”, sebagaimana diklaim oleh Soeharto, dan beberapa aktor politik lebih kontemporer.
Dalam pengamatan yang lebih seksama, ternyata ada banyak sekali “utang” Orde Baru pada Orde Lama. Untuk menjelaskan hal ini, mungkin ada baiknya kita kembali dulu kepada latar belakang pembubaran Konstituante oleh Soekarno serta kembalinya Indonesia kepada UUD 1945.
Dalam versi sejarah yang dibaca di sekolah, tahun 1950-an di Indonesia ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer yang berlaku pada waktu itu. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Toh Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI-kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai ini adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah yang kita baca di sekolah akan menekankan pula bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.
Bahwa kabinet sering jatuh bangun pada waktu itu adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Bahwa beberapa gerakan separatis muncul sepanjang tahun 1950-an juga adalah kenyataan, bahkan Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah. Lebih jauh lagi, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.
Seperti diketahui, salah satu aspek yang penting dari Demokrasi Terpimpin adalah berpusatnya kekuasaan di tangan eksekutif (presiden) dan berkurangnya kekuasaan lembaga legislatif, atau DPR. Hal ini telah difasilitasi dengan kembalinya Indonesia kepada UUD ’45. Bahkan, bentuk parlemen pun diubah dengan dicanangkannya suatu lembaga yang pada dasarnya memberikan tempat yang lebih besar untuk golongan-golongan “fungsional” dalam masyarakat, yang kemudian dikenal sebagai golongan “karya”. Pada saat yang sama, tempat partai di dalam parlemen juga dibatasi-sebab menurut Soekarno-politisi partai hanya mewakili kepentingan partainya, dan yang diperlukan adalah individu-individu yang dapat mewakili kepentingan “rakyat” atau yang depat menyuarakan “kepentingan nasional” yang sebenarnya.
Di masa Orde Baru, dengan sistem kekuasaan yang jauh lebih terpusat dibandingkan pada masa Soekarno, hal ini kemudian menjadi masalah yang amat besar. Negara-dalam hal ini hampir tidak bisa dibedakan dari Soeharto, keluarga, sekutu serta kroninya- mengambil-alih seluruh hak untuk mendefinisikan “kepentingan nasional” tersebut. Akibatnya, kepentingan nasional menjadi identik dengan kepentingan segelintir penguasa politik dan ekonomi, dan segala unsur dalam masyarakat yang menentangnya dinyatakan sebagai pengkhianat. Bahkan “oposisi” menjadi kata yang kotor. Mungkin terjadinya hal seperti itu akan sukar dibayangkan oleh Soekarno sendiri, meskipun ia senang memandang dirinya sebagai “penyambung lidah rakyat” berada “di atas” konflik-konflik kepentingan yang sempit.
ADALAH penting juga untuk dicatat bahwa salah satu kekuatan pendukung utama upaya Soekarno untuk memberlakukan Demokrasi Terpimpin adalah Angkatan Darat. Mengapa Angkatan Darat mendukung upaya Soekarno? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Ada persamaan nasib antara Soekarno dan tentara di dalam sistem demokrasi liberal yang mementingkan peranan partai dan parlemen, yakni keduanya tidak mempunyai akses yang langsung terhadap jalannya roda pemerintahan.
Dengan kata lain, di luar jatuh bangunnya kabinet dalam sistem liberal tahun 1950-an serta pemberontakan-pemberontakan di daerah, baik Soekarno dan Angkatan Darat mempunyai kepentingan nyata untuk membangun suatu sistem politik baru yang memberikan mereka kekuasaan yang lebih langsung. Bisa dikatakan Soekarno tidak puas sebagai presiden yang hanya bersifat figure-head, sedangkan Angkatan Darat telah berkembang menjadi kekuatan yang juga tidak puas dalam peranan hanya sebagai penjaga pertahanan dan keamanan belaka. Pembahasan terhadap kepentingan-kepentingan konkret seperti ini tidak lazim ditemukan dalam pelajaran sejarah di sekolah pada tahun 1950-an.
Perlu diingat pula bahwa, untuk sebagian, penaklukan terhadap pemberontakan daerah telah menghasilkan suatu pimpinan Angkatan Darat yang jauh lebih bersatu dibandingkan sebelumnya. Jenderal Abdul Haris Nasution telah tampil sebagai pimpinan yang mampu untuk meredam tantangan yang diajukan oleh komandan-komandan lokal yang memberontak karena tidak senang dengan dominasi Jakarta/Jawa. Di samping itu, kondisi darurat yang dicanangkan untuk menghadapi pemberontakan daerah telah menempatkan banyak perwira militer sebagai administrator roda pemerintahan. Lebih jauh lagi, nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di tahun 1957-yang sebenarnya dipelopori oleh serikat buruh-telah menempatkan banyak perwira militer di pucuk pimpinan perusahaan-perusahaan negara yang terbesar. Di antaranya adalah Ibnu Sutowo yang kemudian mengembangkan Pertamina.
Dengan posisi politik dan ekonomi yang kuat seperti ini, tampaknya militer tergiur untuk mempunyai peranan yang langsung di dalam sistem politik. “Demokrasi Terpimpin”-nya Soekarno memberikan peluang. Di antara golongan “fungsional” atau “karya” yang boleh duduk dalam parlemen adalah tentara.
Dalam konteks ini, kita perlu mengingat pula bahwa Jenderal Nasution telah mengajukan apa yang disebut sebagai “jalan tengah” untuk militer Indonesia. Dalam konsepsi ini, militer Indonesia tidak akan bersifat intervensionis-dan terlibat dalam kudeta demi kudeta-sebagaimana di Amerika Latin, namun juga tidak akan tinggal diam sebagai penonton arena politik, sebagaimana di negeri-negeri Barat. Walaupun sering dikatakan bahwa maksud awal Nasution telah dipelesetkan oleh Soeharto, dalam ide ini kita melihat cikal-bakal dari “dwifungsi” ABRI yang dipraktikkan Orde Baru.
Jadi, bila Soekarno telah memberikan dasar dari konsepsi sistem politik yang akan dikembangkan dalam versi yang lebih birokratis, otoriter dan ekslusioner pada masa Orde Baru, Nasution telah memberikan landasan awal bagi peranan militer di dalamnya. Nasution pulalah yang pertama mengusulkan bahwa hak pilih tentara dan polisi dicabut dan diganti oleh hak otomatis memperoleh perwakilan di badan legislatif. Oleh karena itu, Orde Baru dapat dipandang sampai tingkat tertentu sebagai hasil yang tidak disengaja (unintended consequence) dari manuver-manuver politik Soekarno dan Nasution di tahun 1950-an. Bisa dikatakan bahwa Soeharto tidak mungkin “ada” secara politik tanpa manuver kedua pendahulunya itu, masing-masing sebagai pimpinan negara dan tentara.
Tentunya, Soekarno dan Nasution pada waktu itu berada dalam situasi yang ditandai oleh keharusan untuk bernegosiasi dan bekerja sama, tetapi juga tidak jarang oleh konflik. Khususnya, militer amat tidak senang dengan upaya Soekarno untuk mengikutsertakan PKI dalam pemerintahan, sedangkan Soekarno semakin mengandalkan PKI sebagai satu-satunya kekuatan politik di awal tahun 1960-an yang dapat mengimbangi Angkatan Darat.
Dalam pikiran Soekarno, PKI adalah bagian tak terpisahkan dari “front” nasional menentang imperialisme dan untuk memajukan revolusi nasional. Ternyata-walaupun cukup “sukses” dalam pemilu nasional dan lokal sebelumnya-PKI mampu beradaptasi dengan lingkungan politik baru setelah berakhirnya masa demokrasi parlementer, seperti juga PNI dan NU (dua elemen lain dari Nasakom-nya Soekarno).
Konflik militer-PKI sendiri setidaknya sudah berawal pada peristiwa Madiun, dan diperburuk sejak tentara semakin aktif mengembangkan ormas untuk melawan dominasi PKI terutama di bidang organisasi buruh dan tani. Apalagi tentara sejak 1957 berhadapan langung dengan SOBSI-serikat buruh yang dekat dengan PKI-di perusahaan nasional yang dikelola militer. Sebagaimana diketahui, konflik militer dan PKI itu akhirnya berkulminasi dengan peristiwa 1965 yang hingga kini masih misterius, dan naiknya Jenderal Soeharto ke pucuk pimpinan negara.
Adalah dalam konteks konflik militer dengan PKI ini jugalah lahir “bayi” yang kemudian menjadi entitas politik bernama Golkar. Setelah Soekarno memperjuangkan konsep perwakilan politik berdasarkan “fungsi” dalam masyarakat, ideolog militer macam Jenderal Soehardiman juga mengembangkan konsep “karyawan” di bidang perburuhan dengan mendirikan SOKSI (terutama berbasis pada perusahaan negara yang dikuasai militer). Akhirnya, Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar) didirikan oleh tentara untuk menghimpun kekuatan-kekuatan keormasan dan politik yang berseberangan dengan kekuatan komunis.
Pada dasarnya, militerlah yang kemudian menjadi ahli waris langsung dari konsep golongan karya yang awalnya diperjuangkan oleh Soekarno, walau dalam versi tentara, konsep ini bermutasi menjadi lebih anti-partai, dan bercorak anti-komunis. Dalam perjalanan sejarah, Golkar dikembangkan di masa Soeharto sebagai salah satu pilar utama Orde Baru, yakni sebagai wadah untuk melegitimasikan kekuasaan lewat sejumlah pemilu yang jauh dari prinsip bebas dan bersih.
ADALAH menarik bahwa pada masa awal Orde Baru, terjadi pula perdebatan di antara para pendukungnya sendiri (ketika itu, termasuk para intelektual dan mahasiswa) tentang peranan partai politik yang wajar di Indonesia. Intelektual macam Mochtar Lubis pun menulis di koran Indonesia Raya tentang perlunya lapangan politik dibersihkan dari partai politik yang identik dengan Orde Lama, yang katanya menghambat pembangunan. Tentu dia tidak sendiri, karena pandangan ini dikumandangkan juga oleh banyak intelektual lain-termasuk yang kemudian menjadi lawan Soeharto yang gigih dan tokoh gerakan demokrasi-serta sejumlah jenderal.
Perdebatan di antara para pendiri atau pendukung Orde Baru berkisar sejauh dan secepat manakah partai politik perlu di-’kubur’. Dalam hal-hal macam ini pulalah kita bisa melihat satu lagi “utang” Orde Baru-nya Soeharto pada “Orde Lama”-nya Soekarno. Seperti diketahui, setelah proses perdebatan dan intrik yang panjang, akhirnya semua partai “sisa” Orde Lama memang difusikan menjadi Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia di tahun 1973, disertai oleh Golkar, partainya golongan karya.
Salah satu tokoh yang paling penting dalam proses perekayasaan sistem politik Orde Baru adalah Jenderal Ali Moertopo. Peranannya menonjol baik sebagai ideolog maupun sebagai operator politik utama Soeharto di awal Orde Baru (dengan Aspri dan Opsus-nya). Jenderal Moertopo menerbitkan beberapa karya yang amat gamblang menggambarkan dasar-dasar pemikiran, blueprint, politik Orde Baru. Moertopo bukan seorang Soekarnois, tapi saya kira ada beberapa aspek dari pemikirannya-yang meskipun mungkin “dipinjam” dari tempat lain- “bertemu” secara tidak langsung dengan ide-ide yang sempat diperjuangkan oleh Soekarno di tahun 1950-an. Salah satu “pertemuan” itu adalah dalam penempatan “negara” sebagai suatu entitas yang diidealisasikan berada di atas konflik dan perbedaan dalam masyarakat. Dalam pidato kenegaraan di tahun 1956, Soekarno menyatakan bahwa negara atau bangsa adalah suatu organisme yang tidak bisa dipilah-pilah, sedangkan strategi politik Moertopo dicurahkan terutama untuk menjamin bahwa tidak ada kekuatan dalam masyarakat yang mampu untuk menentang kemauan negara sebagai pengejewantahan dari kepentingan bersama.
Menurut David Bourchier (seorang pengamat politik Indonesia berasal dari Australia), pemikiran Moertopo banyak dipengaruhi oleh pemikiran Gereja Katolik Eropa awal abad ke-20, yang juga mengajukan konsep adanya pertalian yang erat, hubungan organik, antara negara dan masyarakat. Pemikiran ini aslinya dikembangkan di Eropa sebagai respons terhadap bahaya “fragmentasi” masyarakat yang disebabkan oleh kemunculan politik perjuangan kelas yang dimotori oleh kaum sosialis. Menurut Bourchier, Moertopo mungkin memperoleh gagasan ini dari intelektual Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang sempat menjadi dapur pemikirannya. Seperti dikemukakan sebelumnya, Soekarno pun mengkhawatirkan proses fragmentasi di Indonesia, walaupun lebih menurut aliran politik atau sentimen kedaerahan. Di masa Orde Baru, ketakutan akan fragmentasi-atas dasar kelas, agama, atau hal lain-digabungkan dengan praktik-praktik politik represif yang membungkam bukan hanya partai, tetapi semua suara oposisi dengan dalih ancaman terhadap persatuan nasional dan sebagainya. Bahkan, protes daerah-daerah tertentu mengenai berbagai kebijakan pemerintah pusat dijawab dengan pengiriman tentara demi menjamin lestarinya persatuan nasional.
Sekali lagi, tentu ada perbedaan-perbedaan yang penting antara “visi” Orde Baru dan visi “Demokrasi Terpimpinnya Soekarno”. Setidak-tidaknya retorika Orde Baru di masa awal dibumbui dengan jargon-jargon teori modernisasi yang dipinjam dari kepustakaan ilmu sosial Barat, seperti karya Samuel Huntington yang tersohor, Political Order in Changing Societies. Ironisnya, hal ini terjadi meskipun sistem politik yang hendak dibangun di Indonesia adalah yang diklaim bercorak kepribadian nasional yang khas. Sebaliknya, retorika Soekarno seperti biasa dibumbui oleh jargon-jargon revolusioner yang cenderung romantis dan yang menekankan bersatunya pemimpin dengan rakyat
TULISAN ini telah memusatkan perhatian pada beberapa kontinuitas-mungkin terasa agak ironis-antara Orla dan Orba, meskipun ada banyak perbedaan di tingkat permukaan. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan betapa relevannya pemikiran dan tindakan Soekarno pada masa yang jauh melampaui kurun waktu kehidupannya sendiri-walaupun dalam bentuk unintended consequence-yakni berdiri, berkembang, dan bercokolnya Orde Baru.Pada dasarnya, kontinuitas adalah tema yang masih amat relevan dibicarakan di Indonesia, bahkan dewasa ini karena masih eratnya kaitan antara aktor-aktor politik di masa reformasi ini dengan berbagai kepentingan yang menonjol di masa Orde Baru. Bedanya, kepentingan-kepentingan ini bukan lagi dilindungi oleh negara yang otoriter tetapi justru oleh partai-partai yang tumbuh relatif bebas dalam alam demokratisasi.
Seperti di tahun 1950-an dan 1960-an, perilaku partai politik yang dianggap mementingkan diri sendiri juga telah menyebabkan banyak orang menjadi sinis terhadapnya. Apakah sejarah akan berulang dan partai politik kembali dicap sebagai biang keladi fragmentasi bangsa, sebagaimana pernah dituduhkan Soekarno?
Mudah-mudahan saja solusi politik yang akhirnya ditemukan oleh bangsa Indonesia akan sangat berbeda dari solusi yang pernah muncul sebelumnya. Mudah-mudahan sejarah tidak berulang dengan naiknya tentara sebagai panglima politik, dan bercokolnya rezim yang otoriter untuk waktu yang lama.

postheadericon Sejarah Perekonomian Indonesia Orde lama, Orde Baru dan Reformasi

LATAR BELAKANG
Sudah hampir 66 tahun Indonesia merdeka. Akan tetapi kondisi perekonomian Indonesia tidak juga membaik. Masih terdapat ketimpangan ekonomi, tingkat kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, serta pendapatan per kapita yang masih rendah. Untuk dapat memperbaiki sistem perekonomian di Indonesia, kita perlu mempelajari sejarah tentang perekonomian Indonesia dari masa orde lama hingga masa reformasi. Dengan mempelajari sejarahnya, kita dapat mengetahui kebijakan-kebijakan ekonomi apa saja yang sudah diambil pemerintah dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia serta dapat memberikan kontribusi untuk mengatasi permasalah ekonomi yang ada. Sistem perekonomian Indonesia dibagi menjadi 3 yaitu Pemerintahan pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi.
PEMERINTAHAN MADA MASA ORDE LAMA
Pemerintahan pada masa orde lama dibagi menjadi tiga yaitu
a. Masa pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Pada masa awal kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, yang antara lain disebabkan oleh :
1. Inflasi yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javashe Bank ,mata uang pemerintah Hindia Belanda,dan mata uang pendudukan Jepang. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
2. Adanya blockade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
3. Kas Negara kosong
4. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi,antara lain :
1. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan IR. Surachman pada bulan Juli 1946.
2. Upaya menembus blockade dengan diplomasi beras ke India (India merupakan Negara yang mengalami nasib yang sama dengan Indonesia yaitu sama-sama pernah dijajah, Indonesia menawarkan bantuan berupa padi sebanyak 500.000 ton dan India menyerahkan sejumlah obat-obatan kepada Indonesia),mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blockade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
3. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
4. .Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
5. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
b. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Permasalah ekonomi yang dihadai oleh bangsa Indonesia masih sama seperti sebelumnya. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
1. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
Pada kabinet ini untuk pertama kalinya terumuskan suatu perencanaan pembangunan yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP)
2. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. (Kabinet Sukiman)
3. Sistem ekonomi Ali (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. (Kabinet ini sangat melindungi importer pribumi, sangat berkeinginan mengubah perekonomian dari struktur colonial menjadi nasional)
4. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.(Kabinet Burnahudin)
c. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
1. Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
2. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
3. Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
PEMERINTAHAN MASA ORDE BARU
Prioritas yang dilakukan adalah pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Modal asing mulai masuk sehingga industrialisasi mulai dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang pertama dibuat tahun 1968. Pada tahun 1970-an dan awal 1980-an harga minyak bumi melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde Baru mampu membangun dan mengendalikan inflasi serta membuat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuat rakyatnya bebas dari kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang saja. Dampak negatif kondisi ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru antara lain :
a. Ketergantungan terhadap Minyak dan Gas Bumi (Migas)
Migas merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi anggaran belanja negara. Jadi harga Migas sangat berpengaruh bagi pendapatan negara sehingga turunnya harga minyak mengakibatkan menurunnya pendapatan negara.
b. Ketergantungan terhadap Bantuan Luar Negeri
Akibat berkurangnya pendapatan dari Migas, pemerintah melakukan penjadualan kembali proyek – proyek pembangunan yang ada, terutama yang menggunakan valuta asing. Mengusahakan peningkatan ekspor komoditi non migas dan terakhir meminta peningkatan pinjaman luar negeri kepada negara – negara maju. Tahun 1983, Indonesia negara ketujuh terbesar dalam jumlah hutang dan tahun 1987 naik ke peringkat keempat. Ironisnya, di tahun 1986/87, sebanyak 81% hutang yang diperoleh untuk membayar hutang lama ditambah bunganya.
Akhir 1970-an, proses pembangunan di Indonesia mengalami “non market failure” sehingga banyak kerepotan dalam proses pembangunan, misalnya merebaknya kemiskinan dan meluasnya kesenjangan pendapatan, terutama disebabkan oleh “market failure”.
Mendekati pertengahan 1980-an, terjadi kegagalan pemerintah (lembaga non pasar) dalam menyesuaikan mekanisme kinerjanya terhadap dinamika pasar. Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat akibat kemerosotan penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi pada awal 1980-an. Kebijakan pembangunan Indonesia yang diambil dikenal dengan sebutan “structural adjustment” dimana ada 4 jenis kebijakan penyesuaian sebagai berikut :
a. Program stabilisasi jangka pendek atau kebijakan manajemen permintaan dalam bentuk kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar mata uang dengan tujuan menurunkan tingkat permintaan agregat. Dalam hal ini pemerintah melakukan berbagai kebijakan mengurangi defisit APBN dengan memotong atau menghapus berbagai subsidi, menaikkan suku bunga uang (kebijakan uang ketat) demi mengendalikan inflasi, mempertahankan nilai tukar yang realistik (terutama melalui devaluasi September 1986).
b. Kebijakan struktural demi peningkatan output melalui peningkatan efisiensi dan alokasi sumber daya dengan cara mengurangi distorsi akibat pengendalian harga, pajak, subsidi dan berbagai hambatan perdagangan, tarif maupun non tarif. Kebijakan “Paknov 1988” yang menghapus monopoli impor untuk beberapa produk baja dan bahan baku penting lain, telah mendorong mekanisme pasar berfungsi efektif pada saat itu.
c. Kebijakan peningkatan kapasitas produktif ekonomi melalui penggalakan tabungan dan investasi. Perbaikan tabungan pemerintah melalui reformasi fiskal, meningkatkan tabungan masyarakat melalui reformasi sektor finansial dan menggalakkan investasi dengan cara memberi insentif dan melonggarkan pembatasan.
d. Kebijakan menciptakan lingkungan legal yang bisa mendorong agar mekanisme pasar beroperasi efektif termasuk jaminan hak milik dan berbagai tindakan pendukungnya seperti reformasi hukum dan peraturan, aturan main yang menjamin kompetisi bebas dan berbagai program yang memungkinkan lingkungan seperti itu.
Dampak dari kebijakan tersebut cukup meyakinkan terhadap ekonomi makro, seperti investasi asing terus meningkat, sumber pendapatan bertambah dari perbaikan sistem pajak, produktivitas industri yang mendukung ekspor non-migas juga meningkat. Namun hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar Hutang inilah sebagai salah satu faktor penyebab Pemerintahan Orde Baru runtuh. Pemerintahan Orde Baru membangun ekonomi hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengendalian inflasi tanpa memperhatikan pondasi ekonomi yang memberikan dampak sebagai berikut:
  1. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia, sebagai salah satu faktor produksi, tidak disiapkan untuk mendukung proses industrialisasi.
  2. Barang – barang impor (berasal dari luar negeri) lebih banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses industri sehingga industri Indonesia sangat bergantung pada barang impor tersebut.
  3. Pembangunan tidak didistribusikan merata ke seluruh wilayah Indonesia dan ke seluruh rakyat Indonesia sehingga hanya sedikit elit politik dan birokrat serta pengusaha – pengusaha Cina yang dekat dengan kekuasaan saja yang menikmati hasil pembangunan.
PEMERINTAHAN REFORMASI
Pemerintahan reformasi diawali pada tahun 1998. Peristiwa ini dipelopori oleh ribuan mahasiswa yang berdemo menuntut presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya dikarenakan pemerintahan Bapak Soerhato dianggap telah banyak merugikan Negara dan banyak yang melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).Tahun 1998 merupakan tahun terberat bagi pembangunan ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis moneter di Asia yang dampaknya sangat terasa di Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai Rp. 2.000,- menjadi sekitar Rp. 10.000,- bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali lipat penurunan nilai rupiah terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,- sebelum tahun 1998 senilai dengan 500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi hanya 100 US$. Hutang Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus dibayar dalam bentuk dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang yang dimiliki berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Ditambah lagi dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia sebagai syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF). Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar adalah hutang komersial swasta). Pemerintahan reformasi dari tahun 1998 sampai sekarang sudah mengalami beberapa pergantian presiden, antara lain yaitu
1. Bapak B.J Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999)
Pada saat pemerintahan presdiden B.J Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan perubahan-perubahan yang cukup berarti di bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk menstabilkan keadaan politik di Indonesia. Presiden B.J Habibie jatuh dari pemerintahannya karena melepaskan wilayah Timor-timor dari Wilayah Indonesia melalui jejak pendapat
2. Bapak Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999-23 Juli 2001)
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman wahid pun belum ada tindakan yang cukup berati untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan. Kepemimpinan Abdurraman Wahid berakhir karena pemerintahannya mengahadapi masalah konflik antar etnis dan antar agama.
3. Ibu Megawati (23 Juli 2001-20 Oktober 2004)
Masa kepemimpinan Megawati mengalami masalah-masalah yang mendesak yang harus diselesaikan yaitu pemulihan ekonomi dan penegakan hokum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasai persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun
b. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Megawati bermaksud mengambil jalan tengah dengan menjual beberapa asset Negara untuk membayar hutang luar negeri. Akan tetapi, hutang Negara tetap saja menggelembung karena pemasukan Negara dari berbagai asset telah hilang dan pendapatan Negara menjadi sangat berkurang.
4. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004-sekarang)
Masa kepemimpinan SBY terdapat kebijakan yang sikapnya kontroversial yaitu
a. mengurangi subsidi BBM atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke sector pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung kesejahteraan masyarakat.
b. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
c. Mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepaladaerah. Investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
d. Lembaga kenegaraan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dijalankan pada pemerintahan SBY mampu memberantas para koruptor tetapi masih tertinggal jauh dari jangkauan sebelumnya karena SBY menerapkan sistem Soft Law bukan Hard Law. Artinya SBY tidak menindak tegas orang-orang yang melakukan KKN sehingga banyak terjadi money politic dan koruptor-koruptor tidak akan jera dan banyak yang mengulanginya. Dilihat dari semua itu Negara dapat dirugikan secara besar-besaran dan sampai saat ini perekonomian Negara tidak stabil.
e. Program konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas dikarenakan persediaan bahan bakar minyak semakin menipis dan harga di pasaran tinggi.
f. Kebijakan impor beras, tetapi kebijakan ini membuat para petani menjerit karena harga gabah menjadi anjlok atau turun drastis
Pada tahun 2006 Indonesia melunasi seluruh sisa hutang pada IMF (International Monetary Fund). Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Pengeluaran Negara pun juga semakin membengkak dikarenakan sering terjadinya bencana alam yang menimpa negeri ini.
KESIMPULAN :
Perekonomian Indonesia sejak pemerintahan masa orde lama hingga masa reformasi masih mengalami beberapa gejolak. Perekonomian Indonesia masih jatuh bangun. Hal itu dapat dilihat dari :
1. Kemiskinan yang masih ada
2. Pengangguran tingkat tinggi dikarenakan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja
3. Maraknya para koruptor karena hukum di negeri ini kurang tegas (Indonesia termasuk dalam 5 terbesar Negara terkorup didunia)
4. Masih terjadi kesenjangan ekonomi antara penduduk yang miskin dan yang kaya
5. Nilai rupiah masih sekitar Rp 9.000-Rp 10.000
6. Masih memiliki hutang ke luar negeri